Universitas Gadjah Mada
Website untuk mencari paten
Insinyur Perangkat KerasMerancang, mengembangkan, dan menguji komponen elektronik untuk perangkat keras seperti komputer, ponsel, atau peralatan elektronik lainnya. Bertanggung jawab dalam memastikan perangkat keras beroperasi dengan efisien, handal, dan sesuai dengan standar keamanan.Perancang Sistem KontrolMerancang dan mengimplementasikan sistem kontrol otomatis dalam berbagai aplikasi, termasuk otomotif, produksi, dan proses industri. Mengoptimalkan efisiensi dan kinerja sistem kontrol untuk meningkatkan automasi dan keamanan.Ahli JaringanBertanggung jawab atas perancangan, instalasi, dan pemeliharaan jaringan komunikasi, baik dalam skala lokal maupun global. Selain itu juga memastikan kelancaran aliran data dan koneksi dalam infrastruktur jaringan.Pengembang Perangkat LunakMenyusun, menguji, dan memelihara perangkat lunak untuk berbagai aplikasi, termasuk sistem operasi, perangkat lunak bisnis, atau aplikasi perangkat seluler. Mereka juga bertanggung hawab dan terlibat dalam pemrograman, debugging, dan meningkatkan fungsionalitas perangkat lunak.Riset dan PengembanganTerlibat dalam proyek penelitian untuk mengembangkan teknologi baru, seperti sistem kecerdasan buatan, robotika, atau energi terbarukan. Lulusan menerapkan konsep-konsep ilmiah untuk menciptakan solusi inovatif dalam berbagai bidang.Pengusaha TeknologiMembuka usaha sendiri atau berpartisipasi dalam start-up teknologi untuk mengembangkan produk atau layanan baru. Di samping itu juga menerapkan keterampilan teknis dan kepemimpinan untuk menciptakan nilai tambah dalam industri.Ahli Teknologi InformasiMenangani manajemen sistem komputer, pemeliharaan infrastruktur IT, dan dukungan teknis. Memastikan keamanan sistem dan integritas data dalam lingkungan teknologi informasi.Konsultan Teknik ElektroMemberikan saran profesional kepada perusahaan atau organisasi terkait dengan implementasi teknologi elektronik. Juga mengidentifikasi solusi yang sesuai dengan kebutuhan bisnis dan memberikan rekomendasi strategis.
Hallooo Para Pencari Beasiswa!!
Beasiswa Cahaya Prestasi kembali hadir nih… Untuk kamu yang lagi bingung cari-cari info beasiswa bisa banget mampir ke laman ini dan jangan lewatkan kesempatan ini.
Link Pendaftaran: bit.ly/BEASISWA2BCP24
Deadline Pendaftaran: 07 Desember2024
Instagram: @divyacompetition
Jejak Kolonialisme Eropa dalam Dikotomi Agama
Zulfikar RH Pohan – 04 Juli 2021
Sebagian besar studi sosial melihat sejarah perkembangan masyarakat sebagai gerak maju dari kebiadaban menuju peradaban, dari masyarakat terbelakang menuju masyarakat modern. Paradigma ini tak ayal menimbulkan bias-bias sosial, politik, dan ekonomi yang tak jarang berujung diskriminasi. Sebagai sebuah subjek kajian, agama tak luput dari hal tersebut.
Dalam studi agama, kecenderungan evolusionis ini kerap disimpulkan dengan kepunahan animisme dan paganisme yang akan digantikan oleh monoteisme. Pandangan ini didukung oleh sarjana-sarjana studi agama abad ke-19 seperti E.B Tylor dan J.G Frazer. Para akademisi tersebut umumnya berangkat dari pengamatan terhadap penanda-penanda penting peradaban Eropa, seperti peranti teknologi, pemerintahan terpusat, dan tulisan. Akan tetapi, hal-hal tersebut tidak selalu—dan tentu saja tidak harus—dimiliki oleh semua masyarakat di belahan dunia. Celakanya, bias Eropa ini menjadi standar definisi kemajuan suatu peradaban atau agama.
Bias Eropa: Ekspansi Komoditas dan Penyebaran Agama
Erich Wolf dalam bukunya Europe and The People Without History (1982) mengkritik akumulasi hegemoni Eropa atas peradaban, kebudayaan, dan agama non-Eropa. Wolf melihat sejarah perkembangan peradaban yang bias Eropa seringkali berakar pada teori evolusi dalam ilmu sosial. Padahal, penyebaran kebudayaan dan agama bukanlah merupakan suatu proses evolusi alami, melainkan hasil dominasi teknologi, politik perdagangan, dan penaklukan. Menurut Wolf, sejarah peradaban manusia semestinya bertolak dari penjelasan pada corak produksi (mode of production), bukan dengan menjejalkan teori evolusi pada setiap perubahan sosial.
Wolf melihat bahwa setiap masyarakat non-Eropa sampai ke pelosok sekali pun memiliki konsep mengenai properti dan pengembangan produksi pangan masyarakat. Pemahaman tersebut sangat terkait dengan struktur agama dan sosial masyarakat non-Eropa. Alih-alih dengan rendah hati memahami konsep properti dan pengembangan produksi pangan pada masyarakat non-Eropa, para sarjana Eropa lebih memilih untuk menyusun oposisi biner primitif-modern, maju-terbelakang, Eropa dan non-Eropa. Pemahaman tradisional mengenai properti dan produksi pangan masyarakat non-Eropa ini kemudian digantikan oleh sistem ekonomi kapitalis, sistem pemerintahan terpusat, mesin, baja, senjata, dan berbagai bentuk teknologi pertanian buatan Eropa.
Pergeseran corak produksi tersebut seiring dengan perubahan agama masyarakat tradisional non-Eropa. James C. Scott dalam Decoding Subaltern Politics: Ideology, Disguise, and Resistance in Agrarian Politics (2013) mengemukakan bahwa penggunaan kata “pagan” berasal dari paganus yang artinya ‘masyarakat perdesaan’, masyarakat yang memiliki tradisi pertanian tradisional. “Pagan” kini menjadi kata peyorasi untuk menjelaskan sebuah kultus penyembahan berhala. Peyorasi ini bermula dari Gereja Katolik Eropa yang menyematkan kata “pagan” pada masyarakat petani non-Eropa yang menolak ajaran Kristen dari misionaris Eropa. Masyarakat petani desa tersebut enggan terhegemoni oleh sistem produksi yang dibawa oleh Eropa. Misionarisme Eropa saat itu memang identik dengan imperialisme. Beberapa kajian mengenai misionaris Kristen Evangelis di Afrika menunjukkan penyebaran agama sebagai perpanjangan tangan dari praktik imperialisme. Walter Rodney dalam How Europe Underdevoloped Africa (1972) menjabarkan bagaimana perdagangan di Afrika, beserta eksploitasi sumber dayanya, berbanding lurus dengan kristenisasi. Agama dibentuk bukan hanya sebagai kepatuhan pada Tuhan, melainkan juga kepatuhan orang-orang Afrika sebagai pekerja-pekerja bagi kebutuhan produksi Eropa. Pola yang sama juga terjadi pada masyarakat pedalaman Amerika, India, dan Batak.
Di Batak misalnya. Melalui gerakan misionaris Jerman di akhir abad ke-19, yang bekerja sama dengan kolonial Belanda, agama Kristen tersebar dengan masif di Tanah Batak. Penyebaran agama Kristen tidak hanya meminggirkan agama dan birokrasi lokal, tetapi juga mengubah drastis corak produksi masyarakatnya. Setelah pengaruh Kristen di Batak semakin menguat pada awal abad ke-20, para penganut agama Kristen Batak yang awalnya merupakan petani dan peramu (peasant and gatherer) dijadikan buruh-buruh dalam industri tekstil. Mereka diajarkan ilmu hitung dan tulis-menulis agar dapat dipekerjakan dalam proses produksi kolonial.
Secara global, kolonisasi melalui penyebaran agama memberikan keuntungan besar bagi kebangkitan industri Eropa. Seperti yang tampak pada fenomena The Columbian Exchange, proses pertukaran sumber daya yang masif antara Dunia Lama (Afrika, Eropa, dan Asia) dan Dunia Baru (Amerika). Alfred W. Crosby dalam Ecological Imperialism: The Biological Expansion of Europe, 900-1900 (2004) menggarisbawahi The Columbian Exchange sebagai ekspansi besar-besaran Eropa dalam menyebarkan tetumbuhan, binatang ternak, budak, dan sistem perkebunan lainnya untuk ditanam dan diproduksi di Amerika serta wilayah Dunia Lama lainnya pada abad ke-15 sampai ke-16. Sistem pertanian lokal yang awalnya terbatas diperas untuk produksi besar-besaran bagi perdagangan global. Daerah-daerah yang dikristenisasi adalah pemasok utama produksi pertanian dan perkebunan bagi imperialisme Eropa.
Berkaca dari hal tersebut, ekspansi komoditas dan penyebaran agama adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Ekspansi komoditas, yang meliputi teknologi pangan dan perdagangan, ikut memengaruhi orientasi masyarakat pada agama. Meskipun agama merupakan kepercayaan kepada yang sakral, pada praktiknya penyebaran agama selalu lahir dari fakta-fakta sosial dalam sejarah. Tersebarnya penganut Islam di Semenanjung Melayu dan daerah pesisir Sumatra bukan hanya dilandasi oleh efisiensi perdagangan, melainkan juga sebagai perlawanan kelompok muslim terhadap corak produksi Eropa. Pada abad ke-16, Portugislah yang pertama kali memiliki inisiatif untuk memuluskan kolonialisasi perdagangan di Nusantara melalui penyebaran agama. Meilink-Roelofsz dalam Asian Trade and European Influence in The Indonesian Archipelago Between 1500 and about 1630 (1962) menyebut persaingan antara Portugis dan pedagang muslim ini sebagai “perang salib” karena banyak sekali peperangan atas nama agama yang mewarnai persaingan tersebut.
Dikotomi Agama: dari Perang hingga Pandemi
Dari perseteruan dagang yang berkelindan dengan ekspansi agama antara berbagai kelompok tersebut, hal yang paling mencolok adalah penggunaan teknologi perang dan alat-alat produksi. Dari peperangan itu pula muncul kesan bahwa bangsa yang mampu mengitari samudra, memiliki baja, dan perlengkapan senjata adalah bangsa yang saat ini memiliki persebaran agama yang luas di seluruh dunia. Secara tidak langsung, kolonialisme ini menyebabkan lahirnya dikotomi agama. Secara umum, terdapat dua paradigma dalam mengelompokkan berbagai agama dan kepercayaan di dunia yaitu agama dunia (world religion) dan agama leluhur (indigenous religion). Seperti yang tersirat dalam namanya, agama dunia diisi oleh agama-agama yang banyak disebarkan oleh para penjelajah samudra ke seantero dunia, seperti Kristen, Islam, Hindu, dan Buddha. Sementara agama-agama “nonekspansif” yang dianut secara terbatas oleh komunitas tertentu—yang terserak di seluruh dunia—dikelompokkan dalam kategori agama leluhur.
Akan tetapi, imperialisme dan kolonialisme melalui teknologi senjata tersebut belum cukup untuk menjelaskan mengapa agama Kristen dan Katolik yang tersebar masif ke seluruh dunia, bukannya agama-agama orang Inca, Aztec, Sunda Wiwitan, Kejawen, Dayango, Rastafari, dan lain-lain? Berangkat dari perspektif sejarah dan antropologi, penaklukan dengan bedil dan meriam ternyata bukan satu-satunya yang memuluskan jalan kapitalisme dan kolonialisasi pada masyarakat non-Eropa. Yang tak kalah krusial adalah penyebaran pandemi oleh bangsa-bangsa Eropa.
Penggunaan tentara dan perdagangan untuk penaklukan wilayah dan meraih pengaruh memang amat signifikan. Akan tetapi, pandemi juga mengambil peran vital. Jared Diamond dalam Guns, Germs, and Steel (1997) memberi ulasan menarik tentang hal ini. Pada abad ke-15, masyarakat Indian asli Amerika yang menghuni tempat-tempat subur di Lembah Mississippi sudah terlebih dahulu di ambang kepunahan bahkan sebelum orang-orang Eropa mendirikan permukiman pertama di sana. Jumlah pembantaian yang dilakukan oleh para conquistador Eropa dalam merebut tanah subur di Amerika tak terlalu masif jika dibandingkan kematian akibat wabah penyakit. Penduduk lokal Amerika telah lebih dahulu mati karena wabah yang ditularkan oleh orang Spanyol ke penduduk pesisir. Nantinya, endemi ini berubah menjadi pandemi yang menjangkit hampir seluruh benua sampai ke pedalaman.
Para pendatang dan bangsa peternak dari Eropa membawa jenis penyakit baru yang berakibat kematian massal pada masyarakat lokal. Masyarakat pemburu dan peramu jarang sekali mengidap kuman-kuman yang menular. Penyakit hewan yang dibawa oleh pendatang dari seberang ini kemudian mudah menjangkiti manusia dan berdampak pada pemusnahan massal. Jared Diamond menyebutkan bahwa kuman-kuman yang berevolusi menjadi penyakit berbahaya bagi manusia ini merupakan hasil dari proses domestifikasi hewan oleh orang Eurasia yang terjadi secara turun-temurun. Selain Benua Amerika, Diamond juga memberikan contoh lain melalui wabah pes, tifus, dan influenza di Afrika yang amat erat kaitannya dengan para pedagang atau penjajah yang menyebarkan agama.
Endemi semacam ini juga pernah tersebar di Nusantara. Pada tahun 1920 terjadi endemi kolera yang mematikan. Orang Batak menyebut peristiwa tersebut sebagai Begu Attuk. Begitupula endemi pes di Jawa yang disebut pagebluk. Dalam catatan sejarah, hubungan orang lokal dengan bangsa-bangsa Eropa erat kaitannya dengan penyakit-penyakit tersebut. Penyebaran Begu Attuk adalah celah bagi penyebaran Kristen di Tanah Batak, begitu pula dengan endemi pagebluk yang juga memengaruhi pembangunan pabrik-pabrik tebu Belanda di Jawa.
Sementara masyarakat lokal menghalau endemi dengan kiat-kiat leluhur dan jampi-jampi, bangsa Eropa mengusirnya dengan alat-alat kedokteran modern. Inilah pintu masuk bagi segelintir orang Eropa untuk menyingkirkan populasi penduduk lokal sekaligus menanamkan kepercayaan pada modernisme sebagai obat—termasuk agamawan Eropa yang merangkap sebagai dokter penyembuh penyakit.
Penjelasan mengenai pandemi pada masa ekspansi Eropa adalah upaya untuk melihat kembali bagaimana eurosentris bertahan dalam sejarah, teknologi, dan peradaban non-Eropa, termasuk dalam hal agama. Di sisi lain, sebagian besar kongsi dagang dikuasai orang Eropa, sedangkan Arab dan Cina mengambil porsi yang lebih kecil. Persaingan ketat di antara sesama bangsa Eropa ini menciptakan inovasi dan teknologi baru untuk menguasai perdagangan melalui penjajahan. Di pihak lain, bangsa Arab dan Cina di Nusantara dalam soal perdagangan acap kali sejalan dan jarang terjadi persaingan. Hal ini menjelaskan mengapa Eropa punya kecenderungan untuk menjajah ketimbang Arab atau Cina.
Pada akhirnya, tersebarnya agama-agama besar dunia dan terkucilnya agama-agama lokal bukanlah perkara agama lokal itu primitif sehingga perlu berevolusi menjadi agama modern atau monoteisme. Masifnya penyebaran agama-agama besar tersebut tak lepas dari ketiga hal, yaitu senjata untuk menjajah, baja untuk kebutuhan industri, dan kuman-kuman untuk disebarkan—yang ketiganya tidak dimiliki, dan tidak harus dimiliki, oleh agama-agama leluhur. _______________________
Zulfikar Riza Haris Pohan adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019. Baca tulisan Zulfikar lainnya di sini.
Buku ini tersusun dari kumpulan tulisan ringan berbobot oleh 70 Guru Besar Universitas Gadjah Mada sesuai dengan kepakaran masing-masing. Substansi beragam sumbangan pemikiran Guru Besar dalam menanggapi persoalan yang ada di masyarakat, dikelompokkan ke dalam ketegori: bencana; kesehatan; pertanian; ternak; pendidikan-psikologi-kependudukan, politik-pembangunan; dan energi. Dalam buku ini diantaranya dituturkan bagaimana arus robek di laut selatan harus diwaspadai dengan pelampung, tidak hanya menyalahkan Nyai Roro Kidul (The Queen of The South Sea) yang menginginkan tumbal dan menjawab dengan lantang: ”Jangan salahkan aku!!!”—yang juga menjadi judul buku ini.
Regulasi paten dan hak cipta
Undang-undang No 13 Tahun 2016 tentang Paten
Invensi yang dapat dipatenkan
Pengabdian pada Masyarakat
Kegiatan pengabdian pada masyarakat dilakukan lebih berfokus pada pelayanan jasa Psikologi. Kegiatan ini dilakukan baik bersifat individual maupun institusional. Permintaan baik secara individual maupun institusional sangat tinggi dari masyarakat, menunjukkan sangat pentingnya peran jasa Psikologi.
Jasa psikologi dalam bentuk konseling individu dan kelompok telah dilatihkan kepada guru dan tokoh masyarakat untuk menangani korban konflik bagi para pengungsi di Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Selatan melalui kerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional.
Fakultas Psikologi UGM juga mempunyai wadah resmi sebagai sarana pengabdian pada masyarakat dalam bentuk jasa konsultasi psikologis. Jasa konsultasi psikologis tersebut dikelola oleh Unit Konsultasi Psikologi (UKP).
Berbagai instansi pemerintah daerah, BUMN, dan perusahaan swasta nasional dan multinasional mengenyam jasa psikologis untuk menyelenggarakan rekruitmen untuk seleksi dan promosi, asesmen psikologis, dan berbagai pelatihan. Jasa psikologis ini dikelola oleh Unit Pengembangan Kualitas Manusia (UPKM).
Hampir semua sektor membutuhkan insinyur Teknik Elektro baik industry dalam dan luar negeri, instansi pemerintah, BUMN, mau pun wirausaha dengan membuat perusahaan start-up. Lulusan Teknik Elektro didesain untuk mampu bekerja secara luwes di berbagai bidang dan industri seperti: PLN/kelistrikan, Migas, industri manufaktur, otomotif sampai pada industri mutakhir seperti industri online, IT, smart systems, industry elektronika maju dan kecerdasan buatan.
Sekolah Vokasi (SV) UGM adalah salah satu dari 18 fakultas di UGM yang menyelenggarakan program sarjana terapan. SV UGM adalah pendidikan tinggi vokasi seperti politeknik, yang berada di dalam tata kelola Universitas Gadjah Mada (UGM). SV UGM memiliki keunggulan dibandingkan pendidikan tinggi vokasi yang lainnya.
Visi dan misi UGM memberikan karakter pada sistem pembelajaran dengan mekanisme sistem penjaminan mutu internal yang berkualitas, sehingga mampu menghasilkan lulusan yang dibutuhkan oleh dunia kerja/industri.
Posisi strategis dan potensi SV UGM telah banyak menarik partner kerja sama, baik dari dalam maupun luar negeri. Kemitraan SV UGM berlandaskan pada asas tri darma meliputi Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Partner kerja sama SV UGM meliputi sektor pemerintah dan swasta. Saat ini, SV UGM memberi kesempatan kepada para partner baru untuk berkolaborasi menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten mengembangkan daerah dan sektor industri.
Hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi, dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.
Seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara besama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi.
Izin yang diberikan oleh pemegang paten kepada pihak lain berdasar perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.
Setiap invensi berupa produk atau alat yang baru dan mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan karena bentuk, konfigurasi, konstruksi atau komponennya dapat memperoleh perlindungan hukum dalam bentuk paten sederhana.
Perbedaan antara paten dan paten sederhana
Invensi yang tidak dapat diberi paten
Sophie Kirana, Alumni FEB UGM Tembus Top 5 Miss International 2024. Sophie Kirana, Alumnus Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Program Studi Manajemen IUP 2019 b...