Pahlawan Nasional Raden Ajeng Kartini Berasal Dari
Educated at Dutch Schools
As a child, Kartini was very active, playing and climbing trees. She earned the nickname "little bird" because of her constant flitting around. A man of some modern attitudes, her father allowed her to attend Dutch elementary school along with her brothers. The Dutch had colonized Java and established schools open only to Europeans and to sons of wealthy Javanese. Due to the advantages of her birth and her intellectual inclination, Kartini became one of the first native women allowed to learn to read and write in Dutch.
Despite her father's permission to allow her a primary education, by Islamic custom and a Javanese tradition known as pingit, all girls, including Kartini, were forced to leave school at age 12 and stay home to learn homemaking skills. At this point, Kartini would have to wait for a man to ask for her hand in marriage. Even her status among the upper class could not save her from this tradition of discrimination against women; marriage was expected of her. For Kartini, the only escape from this traditional mode of life was to become an independent woman.
Kartini Day Declared National Holiday
In Indonesia, April 21, Kartini's birthday, is a national holiday that recognizes her as a pioneer for women's rights and emancipation. During the holiday women and girls don traditional clothing to symbolize their unity and participate in costume contests, cook-offs, and flower arrangement competitions. Mothers are allowed the day off as husbands and fathers do the cooking and housework. Schools host lectures, parades are held, and the women's organization Dharma Wanita specially marks the holiday.
In more recent years criticism has arisen regarding the superficial observance of Kartini Day. Many now chose not to commemorate it, and it has increasingly been eliminated from school calendars. What saddens historians and activists is that Kartini has become a forgotten figure for the younger generation, who cannot relate to the achievements she wrought in a repressive society that is now almost forgotten. Historians have also debated the role Kartini herself played in promoting women's emancipation. Other than her letters, some have argued that she was a submissive daughter, feminine but not necessarily a feminist.
The film biography R. A. Kartini was produced to highlight her efforts to promote women's emancipation and education. Based on her published letters as well as memoirs written by friends, the film presents the two aspects of Kartini's life: her brief public life which had minimal effect, and her letters which, after her death, had profound influence on women all over the world. The film, written and directed by Indonesian filmmaker Sjuman Djaya, recreates Kartini's family life, ambitions, and the historical context of life under Dutch colonialism. Kartini is also remembered through businesses inspired by her vision. Kartini International, based in Ontario, Canada, advocates for women's education and rights, and won the 2000 Canadian International Award for Gender Equality Achievement for its work.
Kartini, R. A., Letters from Kartini: An Indonesian Feminist, 1900-1904, Monash Asia Institute, 1994.
—, On Feminism and Nationalism: Kartini's Letters to Stella Zeehandelaar, 1899-1903, Monash Asia Institute, 1995.
Palmier, Leslie, Indonesia, Walker & Co., 1965.
Jakarta Post, April 21, 2001; April 20, 2002.
Chaniago, Ira, "Raden Ajeng Kartini—A Pioneer of Women's Education in Indonesia," University of New England Web site,http://www.une.edu.au/unepa/Gradpost/gp_9.3web.pdf (December 23, 2003).
Discover Indonesia Online,http://indahnesia.com/Indonesia/Jawa/ (December 23, 2003).
Monash Asia Institute Web site,http://www.arts.monash.edu.au/mai/ (December 23, 2003).
Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau acap disapa Kartini merupakan sosok pahlawan Indonesia yang gigih memperjuangkan hak-hak perempuan. Cita-cita luhur Kartini ingin menghapuskan penderitaan perempuan yang terkungkung dalam tembok tradisi dan adat-istiadat masyarakat feodal-patriarkal Jawa. Kala itu, perempuan selalu menjadi potret tragis yang tidak memiliki kebebasan, seperti pelarangan mengenyam pendidikan, adanya pingitan, hingga harus siap dipoligami oleh suami dengan dalih berbakti.
Kartini, melalui surat-surat yang dikirimkan ke sababat penanya mengemukakan pemikiran-pemikirannya dalam mendobrak tradisi feodal-patriarkal yang menghambat kemajuan kaum perempuan. Ia ingin perempuan memiliki masa depan yang lebih maju, bebas, cemerlang, dan merdeka. Ia menganggap pendidikan merupakan jalur mutlak yang diperlukan demi mengangkat derajat perempuan dan martabat bangsa Indonesia. Baginya, pengajaran kepada perempuan secara tidak langsung akan meningkatkan martabat bangsa.
Atas cita-cita dan perjuangannya melalui pemikiran-pemikiran itu Kartini dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keppres Nomor 108 Tahun 1964 tentang Penetapan Kartini sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno.
Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Mayong, Jepara. Ia merupakan seorang perempuan berdarah ningrat Jawa. Ayahnya yang bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah wedana Mayong, yang kemudian menjadi Bupati Jepara, sedangkan ibunya bernama M. A. Ngasirah. Sang ibu merupakan seorang putri dari Nyai Hajjah Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara.
Putri kelima dari 11 bersaudara ini memang terlahir dari keturunan keluarga cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV menjadi bupati pada usia 25 tahun. Dia adalah bupati pertama yang mendidik anak-anaknya dengan pelajaran khas Barat, langsung dari seorang guru asli Negeri Belanda.
Sifat progresif kakeknya yang memberikan pendidikan Barat pada putra-putranya, diwarisi oleh sang ayah Sosroningrat. Dia menyekolahkan semua anaknya ke Europese Large School, sekolah gubernemen kelas satu yang memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dan diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan Jawa yang tersohor.
Pada 1885 Kartini mulai bersekolah di Europese Large School (ELS). Di sekolah inilah untuk pertama kalinya Kartini mendapatkan bahan bekal perjuangannya. Setamatnya di ELS, Kartini ingin meneruskan pendidikannya ke Semarang, di Hoogere Burgerschool (HBS). Kartini pernah ditawari untuk sekolah ke Belanda oleh gurunya. Namun, sang ayah tidak lagi memberi izin dan Kartini tak kuasa melawan.
Ia bersekolah hanya sampai usia 12 tahun, dan terpaksa harus keluar untuk menjalani masa pingitan. Masa-masa inilah disebut Kartini bagai ‘dalam penjara’. Kartini tidak banyak bergaul selama masa pingitannya. Justru, ia mulai merenung tentang nasib perempuan yang terkungkung adat dan tidak bisa menentukan masa depannya sendiri.
Dalam masa pingitan tersebut Kartini mengasah pemikirannya dengan banyak belajar seorang diri. Sebab bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar dan menulis surat kepada teman-temannya yang berasal dari Belanda, salah satunya Rosa Abendanon.
Memasuki usia 16 tahun, Kartini dibebaskan dari masa pingitan. Kemudian, ia banyak belajar sendiri. Lantaran menguasai bahasa Belanda, maka ia mulai belajar dan menulis surat kepada teman-temannya yang berasal dari Belanda.
Stella Zeehandelaar, kawan pena Kartini, menyarankan kepada Ir. H. H. van Kol (anggota parlemen Belanda yang satu partai dengan Stella) agar mengunjungi putri-putri Bupati Sosroningrat. Ia menjelaskan bagaimana keinginan Kartini dan Roekmini (adiknya) untuk bisa belajar ke Belanda.
Pada 20 April 1902, van Kol yang didampingi wartawan De Locomotief, Stoll, tiba di Jepara dan disambut dengan sangat ramah oleh keluarga Bupati Jepara. Di sinilah kesempatan van Kol untuk berbincang dengan Kartini, sekaligus membicarakan beasiswa itu. Kartini diminta untuk segera membuat surat permohonan.Berkat peran Van Kol memperjuangkan beasiswa Kartini dalam sidang Tweede Kamer pada 26 November 1902, Menteri Seberang Lautan A. W. F. Idenburg menyetujui untuk memproses beasiswa tersebut.
Kendati jalan sudah terbuka, tapi ia batal ke Belanda karena alasan politis. Alasan itulah yang menjadikan Kartini kembali memilih berkorban demi ketenteraman keluarga dan mengorbankan pamrih pribadi. Lantas, ketika beasiswa dari Belanda akhirnya benar-benar datang, Kartini menyarankan supaya Agus Salim yang berangkat.
Memasuki usia 24 tahun, Kartini menyadari bahwa usahanya untuk bersekolah lagi tak akan pernah terlaksana. Saat ia menunggu keputusan beasiswa dari Batavia, tiba-tiba Bupati Sosroningrat menerima utusan Bupati Djojoadhiningrat dari Rembang yang membawa surat lamaran untuk Kartini.
Kartini tak mampu menolaknya. Ia lantas menyetujui saran ayahnya untuk menikah, dengan berbagai alasan, antara lain, di Rembang ia bisa meneruskan cita-citanya membuka sekolah didampingi seorang suami yang berpendidikan tinggi serta memiliki kekuasaan. Ia pun resmi menjadi seorang istri dari duda yang telah memiliki tujuh anak dan dua orang selir.
Bobo.id - Masuk di bulan April, apakah teman-teman ingat hari lahir salah satu pahlawan nasional Indonesia?
Yap, betul sekali! April adalah bulan kelahiran Raden Ajeng (R.A.) Kartini, tepatnya pada tanggal 21 April.
Karena sebentar lagi akan memperingati Hari Kartini, kita cari tahu tentang perjalanan hidup atau sejarah R.A Kartini, yuk!
Baca Juga: Fakta Seputar Pahlawan Nasional Ibu Kartini
Perjalanan Hidup R.A. Kartini
R.A Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Ia merupakan anak dari keturunan bangsawan Jawa, yaitu Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M.A. Ngasirah.
Pada saat kelahiran R.A. Kartini, ayahnya menjabat sebagai seorang Bupati di Jepara.
Kartini bersekolah di salah satu sekolah elit yang bernama Europeesche Lagere School (ELS).
Sekolah ini tak dibuka untuk umum, ia hanya dibuka untuk anak-anak keturunan Eropa, Negara Timur, dan anak Indonesia yang berasal dari keturunan bangsawan.
Karena itula R.A. Kartini bisa mendapatkan pendidikan yang layak, meski dalam masa penjajahan Belanda.
Namun, di usia muda Kartini dihentikan pendidikannya dan hanya diam di rumah karena ia seorang perempuan.
Tak diam begitu saja, Kartini terus mengasah kemampuan dan ilmunya lewat berbagai buku bacaan.
Kemudian ia juga sering saling bertukar surat dengan sahabat pena yang merupakan orang Belanda. Salah satu sahabat penanya yang dikenal bernama Rosa Abendanon.
Karena gemar membaca banyak buku, wawasan Kartini akhirnya terbuka dan ingin memperjuangkan haknya sebagai perempuan.
Ia ingin dirinya dan seluruh perempuan Indonesia memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Baca Juga: Ini Contoh Sikap yang Dapat Diteladani dari Pahlawan! Belajar dari Rumah SD Kelas 1-3
Sayangnya, Kartini meninggal dunia di usia muda tepatnya pada tanggal 17 September 1904.
Namun, surat-suratnya yang ia kirimkan pada sahabat penanya akhirnya menginspirasi banyak orang.
Hingga pada akhirnya berdirilah Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912.
Sekolah ini diberi nama "Sekolah Kartini" yang didirikan oleh tokoh politik, yaitu keluarga Van Deventer.
Pada akhirnya Sekolah Kartini ini berdiri di berbagai daerah, seperti Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya.
4 Kota di Belanda Menjadikan Nama R.A. Kartini sebagai Nama Jalan
Tak hanya di Indonesia, perjuangan R.A. Kartini juga terkenal di masyarakat Eropa, termasuk Belanda.
Bahkan di Belanda ada empat kota yang menggunakan nama R.A Kartini sebagai nama jalan, lo.
Kota apa saja? Yuk, cari tahu di sini!
Baca Juga: Pengertian Sikap Patriotisme dan Contohnya, Berikut Penjelasannya!
Di Utrecht, Jalan R. A. Kartini terletak di bagian tenang dengan perumahan apik. Kebanyakan, masyarakat yang tinggal di sana adalah kalangan menengah.
Jalan utama ini juga memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan jalanan lain yang memiliki nama tokoh.
Di Venlo, jalan RA Kartinistraat berbentuk O di kawasan Hagerhof. Di sana memang banyak nama jalan yang dinamakan dengan tokoh wanita, seperti Anne Frank dan Mathilde Wilbaut.
Di ibukota Belanda, Amsterdam, ada juga Jalan R. A. Kartini, tepatnya di wilayah Zuidoost atau yang lebih dikenal dengan Bijlmer.
Jalan Raden Adjeng Kartini, seperti itulah nama jalannya.
Di sekitarnya juga ada nama-nama wanita dari seluruh dunia yang punya andil dalam sejarah, seperti Rosa Luxemburg, Nilda Pinto, dan Isabella Richaards.
Baca Juga: Sosok-Sosok Pahlawan pada Masa Kerajaan Hindu, Buddha, dan Islam di Nusantara
Jalan R. A. Kartini di Haarlem ternyata berdekatan dengan Jalan Mohammed Hatta, Jl Sutan Sjahrir dan langsung tembus ke Jalan Chris Soumokil, presiden kedua Republik Maluku Selatan (RMS)
Buat kalian yang suka traveling, boleh, nih, jalan ke Jalan R. A. Kartini di empat kota besar di Belanda ini!
(Penulis: Sarah Nafisah?/Alvin Bahar)
Teman-teman, kalau ingin tahu lebih banyak tentang sains, dongeng fantasi, cerita misteri, dan pengetahuan seru, langsung saja berlangganan majalah Bobo dan Mombi SD. Tinggal klik di https://www.gridstore.id
Atau teman-teman bisa baca versi elektronik (e-Magz) yang dapat diakses secara online di ebooks.gramedia.com
Artikel ini merupakan bagian dari Parapuan
Parapuan adalah ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya.
Belajar Empati dengan Berbagi, SPK Jakarta Nanyang School Kunjungi Panti Asuhan Desa Putera
Oleh MC Kab. Mempawah, Kamis, 27 April 2017 | 08:53 WIB - Redaktur: Eka Yonavilbia - 2K
Mempawah,InfoPublik – Lebih dari seabad lalu, Raden Ajeng Kartini wafat karena komplikasi saat melahirkan anak pertama.Salah satu pemicunya adalah preeklamsia, yang hingga kini masih menjadi penyebab utama kematian ibu hamil di samping infeksi dan pendarahan.
Terbatasnya teknologi medis saat itu membuat pahlawan nasional asal Jepara ini meninggal muda di usia 25 tahun. “Ironisnya, hingga kini Angka Kematian Ibu atau AKI ternyata terhitung masih tinggi padahal kondisi teknologi dan ilmu pengetahuan makin berkembang,” kata Sekretaris Daerah Mochrizal di sela Peringatan Hari Kartini di Aula Kantor Bupati Mempawah, akhir pekan lalu.
Mochrizal menyebut derajat kesehatan keluarga sangat ditentukan oleh kondisi hidup sehat seorang ibu. Ia menuturkan kesehatan ibu hamil, ibu menyusui, dan ibu nifas adalah masa yang sangat penting untuk menentukan mutu kesehatan ibu dan anak selanjutnya. “Masa-masa tersebut merupakan masa yang rentan bagi para ibu dan dapat mempengaruhi tumbuh-kembang anak,” ujarnya.
Menurutnya, ketika seorang anak terlahir ke dunia, apakah anak tersebut akan menjadi anak yang sehat atau anak yang rentan terhadap penyakit sangat ditentukan oleh kesehatan ibu pada masa-masa kehamilan dan berlanjut saat menyusui.
Karena itu, ia menyebut sehat mulai dari janin dalam kandungan, anak balita, remaja, dewasa, dan lanjut usia juga perlu diupayakan. Hal itu mengingat banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi untuk mencapai keadaan sehat. Mochrizal menegaskan pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya tidak mungkin dicapai hanya oleh sektor kesehatan. “Karena kesehatan bersifat multidimensi, multidisiplin, dan multisektor sehingga pembangunan kesehatan memerlukan dukungan berbagai sektor terutama dari keluarga,” tuturnya.
Keluarga, Mochrizal meneruskan, merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang menyediakan kebutuhan seluruh anggotanya. Seperti pendidikan dan budi pekerti, kasih sayang, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya.
“Artinya keluarga merupakan fundamental bagi pembangunan manusia sekaligus barometer kesejahteraan masyarakat pada umumnya,” ucapnya menerangkan. (MC.Mempawah/Rio/Eyv)
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber infopublik.id
Raden Ajeng Kartini merupakan pelopor emansipasi perempuan Indonesia. Ia yakin bahwa kaum perempuan diciptakan sama dengan kaum laki-laki dan hanya berbeda dalam bentuk fisik. Maka Kartini berpendapat bahwa pendidikan tidak perlu menjadi hak istimewa kaum pria. Selain itu ia juga memperjuangkan kehidupan sosial yang lebih baik bagi rakyat jelata pada umumnya.
Kartini memang sosok yang gigih dalam memperjuangkan hak perempuan. Bahkan, kisah R.A. Kartini banyak diabadikan dalam buku-buku sejarah. Berikut ini informasi penting tentang Raden Ajeng Kartini yang perlu kamu tahu.
Letters Ultimately Published
Kartini's legacy is found in the many letters she wrote to friends in Holland. In 1911 a collection of her Dutch letters was published posthumously, first in Java and then in Holland as Door Duisternis tot Licht: Gedachten Over en Voor Het Javanese Volk ("From Darkness to Light: Thoughts about and on Behalf of the Javanese People"). The book was then translated into several languages, including French, Arabic, and Russian, and in 1920 was translated by Agnes Louis Symmers into English as Letters of a Javanese Princess. In 1922 Armijn Pane finally translated the book into the Javanese language under the title Habis Gelap Terbitlah Terang ("After Darkness, Light Is Born"), which he based on a verse found in both the Bible and the Qur'an in which God calls people out of the darkness and into the light. More recently, Kartini's granddaughter, Professor Haryati Soebadio, re-translated the letters and published them as Dari Gelap Menuju Cahaya, meaning "From Darkness into Light."
Kartini's letters spurred her nation's enthusiasm for nationalism and garnered sympathy abroad for the plight of Javanese women. Syrian writer Aleyech Thouk translated From Darkness into Light into Arabic for use in her country, and in her native Java Kartini's writings were used by a group trying to gain support for the country's Ethical Policy movement, which had been losing popularity. Many of Kartini's admirers established a string of "Kartini schools" across the island of Java, the schools funded through private contributions.
Kartini's beliefs and letters inspired many women and effected actual change in her native Java. Taking their example, women from other islands in the archipelago, such as Sumatra, also were inspired to push for change in their regions. The 1945 Constitution establishing the Republic of Indonesia guaranteed women the same rights as men in the areas of education, voting rights, and economy. Today, women are welcome at all levels of education and have a broad choice of careers. Kartini's contributions to Indonesian society are remembered in her hometown of Jepara at the Museum Kartini di Jepara and in Rembang, where she spent her brief married life, at the Museum Kartini di Rembang.
Wrote Letters to Holland
From 1900 to 1904 Kartini stayed home from school in according to the dictates of Javanese tradition; she found an outlet for her beliefs in letters she wrote in Dutch and sent to her friends in Holland. Kartini was unique in that she was a woman who was able to write; what set her apart even further was her rebellious spirit and her determination to air concerns that no one, not even men, were publicly discussing.
Kartini wrote to her European friends about many subjects, including the plight of the Javanese citizenry and the need to improve their lot through education and progress. She recounts how Javanese intellectuals were put in their place if they dared to speak Dutch or to protest. She also describes the restrictive world she lived in, rife with hierarchy and isolationism. In 1902 Kartini wrote to one letter, to Mrs. Ovink-Soer, that she hoped to continue her education in Holland so that she could prepare for a future in which she could make such education accessible to all women.
Kartini is most known for writing letters in which she advocates the need to address women's rights and status, and to loosen the oppressive Islamic traditions that allowed discrimination against women. She protests against education restricted to males of the nobility, believing that all Javanese, male and female, rich and poor, have the right to be educated in order to choose their own destiny. Women especially are not allowed to realize their calling. As Nursyahbani Katjasungkana commented in the Jakarta Post, "Kartini knew and expounded the concept that women can make choices in any aspect of their lives, careers, and personal matters."
Raden Ajeng Kartini (1879-1904) is credited with starting the move for women's emancipation in Java, an island then controlled by Holland as part of the Netherlands Indies (now Indonesia). Born to the aristocracy, Kartini was privileged to be able to attend Dutch colonial schools, but was forced to quit at an early age due to Islamic law at the time. At the age of 24, she was married to a man twice her age who already had three wives. Kartini wrote letters to her friends in Holland protesting the treatment of women in Java, the practice of polygamy, and of the Dutch suppression of the island's native population. Decades later, the Indonesian state constitution promised gender equality to all its citizens, and Kartini Day continues to be celebrated on April 21 to commemorate Kartini's contribution to women's rights.
Kartini was born on April 21, 1879, in Mayong village near of Jepara, a town located in the center of the island of Java. She was born into the Javanese priyayi, or aristocracy; her father was Jepara mayor Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Kartini was one of 12 children born to Raden's several wives.
Akhir Hayat Raden Ajeng Kartini
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Mengutip e-book Sisi Lain Kartini oleh Prof. Dr. Djoko Marihandono, dkk, tiga hari setelah pernikahannya, Kartini pindah ke Rembang untuk memulai hidup baru sebagai seorang ibu. Ia harus membagi waktu untuk suami dan anak-anaknya. Keluarga Bupati Rembang akan berkumpul kembali pada jam empat, dengan aktivitas yang berbeda.
Aktivitas keseharian Kartini mulai terhambat setelah mengandung anak pertamanya. Kondisi fisiknya mulai menurun sehingga beberapa kali menderita sakit. Tanggal 13 September 1903, Kartini melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat. Setelah melahirkan kondisi Kartini tampak sehat dan berseri-seri, karena itu dokter yang membantu persalinan kembali ke kotanya.
Tanpa sebab yang jelas kondisi tubuh Kartini melemah. Dokter tidak bisa mengembalikan kesehatan tubuhnya. Pada 17 September 1903, akhirnya Kartini wafat dalam usia yang masih sangat muda 25 tahun. Kematian R.A. Kartini pun sangat mengguncang pikiran suaminya.
FOCUS June 2009 Volume 56
Promoted Nationalist Movement
Fearful of losing control over their island territory, the Dutch colonialists believed that knowledge of European languages and education could a be dangerous tool in the hands of the native Javanese. Consequently, they suppressed the activities of the native people, keeping them as peasants and plantation laborers, while at the same time counting on the Javanese nobility to support them in their rule over the region. Only a few of the nobility, Kartini's father included, were taught the Dutch language. Kartini believed that once the Europeans introduced Western culture to the island, they had no right to limit the desire of native Javanese to learn more. Clearly, by the late nineteenth century there was talk of independence. With her letters and her egalitarian fervor, Kartini can be said to have started the modern Indonesian nationalist movement.
Kartini was not proud of being set apart from her countrymen as one of the privileged few of the aristocracy. In her writings she described two types of nobility, one of mind and one of deed. Simply being born from a noble line does not make one great; a person needs to do great deeds for humanity to be considered noble.
Raden Ajeng Kartini: Indonesia's Feminist Educator
Raden Ajeng Kartini is hailed as Indonesia's first feminist. April 21, the day of her birth, is celebrated as "Hari Ibu Kartini" (Kartini Day). She is seen as the symbol of Indonesian women's emancipation.[1]
Kartini was born on 21 April 1879, in a village called Mayong in the town of Jepara, North Central Java to an aristocrat family. She is the daughter of Raden Mas Adipati Aryo Sosroningrat, the Regent of Jepara. She went to a primary school, along with her brothers, for the children of Dutch planters and administrators. Other girls from aristocratic families did not receive the same formal education she obtained.[2] But under the old Javanese tradition of pingit, she was kept in seclusion at home until marriage upon reaching the age of twelve years.
Seclusion from twelve years of age until marriage did not stop Kartini from aspiring for further education. During her period of seclusion she wrote letters to many friends abroad, read magazines and books, and rebelled against the strong tradition of gender discrimination.[3] Her father gave her books on Javanese culture to "balance her western education and subscribed to a Literary Box, a box of magazines, children's books, modern novels and foreign news, which was changed every week by a local library."[4] In 1892, when she was twelve years old, Kartini made friends with the wife of the new Dutch officer appointed as Assistant Resident of Jepara, Mevrouw Ovink-Soer. Mevrouw was "highly cultured, had published a number of magazine articles," and later wrote a book entitled Women's Life in a (Javanese) Village. She was also a fervent socialist and fervent feminist.[5] One account says that the Dutch people who supported her desire to be educated and to search for new kind of education for herself were proponents of the then new colonial policy called "Ethical Policy" that emphasized[6]
Her father, a Javanese official serving the Dutch colonial government as a local administrative head on the north coast of Java, introduced her and her sisters to the reality of life for the people whom he governed, to the world beyond the then Dutch East Indies, besides exploring the intricacies of their own rich cultural heritage. He took his daughters to meet the villagers during times of crisis and celebration.[7]
She obtained a scholarship to study in Holland, a desire she worked to achieve for quite some time, but family pressure led her to ultimately reject it. She did not want marry but she consented to be the fourth wife of the Regent of Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, a man twenty-five years her senior. She died on 17 September 1904 after giving birth to a child a year after her marriage. She passed away at the young age of twenty-five. Prior to her death, Kartini founded a school for young girls.
In 1903, Kartini obtained permission to open in her own home in Rembang the first ever all-girls school, for daughters of Javanese officials. She created her own syllabus and system of instruction. The school aimed at the "character development of young women, while at the same time providing them with practical vocational training and general education in art, literature and science."[8] It was also a school that was both Western and Indonesian. By 1904, the school had one hundred twenty students.[9]
Kartini realized that the education she obtained that widened her choices in life should also be enjoyed as a right by all of her people. Influenced by Dutch feminists, Kartini wrote passionately for the improvement of education, public health, economic welfare, and traditional arts in her country.
She wrote in January 1903 a memorandum about education entitled Give The Javanese Education! addressed to an official of the Dutch Ministry of Justice.[10] She emphasized the need to educate the women for the development of society. She wrote:
xxx xxx xxx
She further wrote about the need for the formal education of the girls of the noble class:
She pointed out that given the resources and the Javanese population of twenty-seven million, educational policy should first be directed to elite women who could then open schools for the rest of the "masses." [11] She wrote:
She also explained that the purpose of formal education is not merely to learn the Dutch language. She argued
She criticized the Javanese culture's hierarchical nature, where younger siblings had to serve older ones and where norms dictated elaborate rituals of hierarchy. [12]
She also criticized the nobility by writing thus:
Kartini wrote many letters that were later published in Holland in 1911 in a book entitled Through Darkness into Light, and became a bestseller. It had four editions until 1923.[13]
She also wrote about her own Javanese society and the suffering of the rural poor, and the practice of polygamy.
Overall, she wanted to alter the relations between Indonesians and the Dutch a decade before the flowering of the nationalist movement. Thus, the desire to modernize her country and access the language of knowledge could be interpreted as a "nationalist" move.[14]
In her preface in the 1960s book Letters of a Javanese Princess, a collection of Kartini's letters, Eleanor Roosevelt wrote:
In present-day Indonesia, Hari Ibu Kartini or Kartini Day is seen as an "important event in the school calendar, often providing the setting in which students can explore Indonesian history, the roles of women in society, families and the rich cultural diversity of Indonesia....[and p]erhaps most importantly, it is for educators seeking to nurture the independence and self esteem of children in their care.[15]
Kartini lived a short life of twenty-five years and yet she left a legacy that supported the rights of Indonesian women in particular, and national identity in general. In the context of the remaining many challenges facing Indonesian women today, Kartini provides an inspiration to the continuing effort to overcome them.
1.Susan J. Natih,"Kartini, her life and letters,"The Jakarta Post, 21 April 2005.
2.Kumari Jayawardena, Feminism and Nationalism in the Third World (London and New Jersey: Zed Books Limited, 1994), page 141.
3.Bebeth, "Raden Ajeng Kartini, Are We Really Free?," Just About Anything, 21 April 2005,
http://bebeth009.blogspot.com/2005/04/raden-ajeng-kartini-are-we-really-free.html
5.Hilda Geertz, editor, Letters of a Javanese Princess ? Rada Adjeng Kartini (New York: W.W. Norton and Company, 1964), page 8.
8.Geertz, op cit., page 23.
9.Jayawardena, op. cit., page 145.
10.In Letters from Kartini: An Indonesian Feminist 1900-1904, translated by Joost Cote (Clayton, Victoria: Monash Asia Institute, 1992).
11."Southeast Asian Politics, Non- fiction, Javanese Education," Women in World History, available in www.chnm.gmu.edu/wwh/p/114html
12.Southeast Asian Politics, Non-fiction, Javanese Education, ibid.
13.Geertz, op cit., page 23.
14."Southeast Asian Politics, Non-fiction, Javanese Education," op. cit.
Biografi singkat Raden Ajeng Kartini
Mengutip Digital Library UINKHAS Jember, Raden Ajeng Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 dan meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun. Kartini adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia sekaligus sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
Raden Ajeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Ia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara segera setelah Kartini lahir. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari semua saudara kandungnya, Kartini adalah anak perempuan tertua. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa.
Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah. Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan).
Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah perempuan Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan.
Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi perempuan, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan perempuan agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Kemudian Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903.
Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah perempuan di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka. Jasa-jasa Kartini di bidang pendidikan pun dikenang dan dihormati sampai sekarang.
Baca Juga: 15 Contoh Puisi Kartini Penuh Makna, Bisa Memotivasi!